Untuk beberapa orang, shaum kali ini mungkin sudah merupakan yang kesekian kalinya, bukan hanya belasan tapi puluhan kalinya. Walaupun demikian, ramadhan tetap merupakan hal yang ditunggu.
Terlepas dari itu, ada satu hal yang
sangat mendasar yang mampu mempengaruhi keadaan psikologis kita saat
melaksanakan shaum, hal ini biasanya tidak terasa bahkan dianggap bukanlah
sebuah kekeliruan, yang lebih memprihatinkan, kekeliruan ini kerap dilakukan
pemakaiannya oleh agen paling laris dalam mempengaruhi masyarakat seperti media
elektronik dan media cetak.
Kekeliruan yang dimaksud adalah
kekeliruan masyarakat dalam pemakaian kata puasa
yang disandarkan pada bulan ramadhan.
Hal ini merupakan kekeliruan yang dapat mempengaruhi keadaan psikis masyarakat
dan juga bias berambas besar bagi kemurnian ibadah shaum kita.
Bila melihat pada kamus, atau
beberapa sumber bacaan, kata puasa
berasal dari kata “upawasa” yang digunakan oleh umat Hindu untuk salahsatu
peribadatan mereka, upawasa berarti
“menyiksa diri”, sehingga bentuk dari peribadatan itu sendiri memang bermotif
dan bertujuan untuk menyiksa si pelaku itu sendiri, karena itu kita sering
mendengar da puasa yang dilakukan selama 40 hari 40 malam, yang didalamnya full dilarang makan, minum, hingga
melakukan aktifitas suami istri.
Sedangkan kata shaum atau shiyam, yang
digunakan di dalam Islam, berasal dari bahasa arab Shaama-Yashuumu yang berarti menahan, lebih rincinya lagi menahan
dari makan, minum, jima’ dan yang lainnya pada waktu siang hari dari terbitnya
fajar hingga terbenamnya matahari. (Al-Asqalani, 2: 150, Sabiq, 1995: 319).
Dari pengrtian diatas jelas perbedaan antara makna puasa dan shaum.
Selain dari segi makna, dari segi
realita pun puasa dengan shaum ada beberapa berbedaan. Pertama, dalam puasa tidak dperbolehkan berbuka pada waktu malam,
sebaliknya, di dalam Islam ketika shaum justru dilarang melakukan wishal
(tidak berbuka) (HR Muttafaq Alaih). Kedua,
di dalam puasa atau upawasa tidak boleh makan, minum, dan bercampur pada waktu
malam, meski itu selama 40 hari berturut-turut, sedangkan di dalam Islam,
ketika shaum, kita boleh makan, minum, bahkan melakukan hubungan suami istri
pada waktu malamnya, termasuk di bulan ramadhan ini. Sebagaimana Allah telah
berfirman dalam Q.S Al-Baqarah ayat 187:
أُحِلَّ
لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ
وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ... وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ من الفجر...الأية
“dihalalkan bagimu pada malam hari shiyam bercampur dengan
istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pakaian bagi mereka … Makan dan
minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) benang putih dan benang hitam, yaitu
fajar….”
dan ketiga, dengan tidaknya makan dan minum dalam waktu yang lama
seperti dilakukan ketika puasa, tentu akan merusak dan mengurangi daya tahan
tubuh, sedangkan di dalam Islam dengan shaumnya,
Rasulallah mengatakan bahwa dengan shaum kita akan menjadi sehat.
Dengan perbedaan ini, tentunya kita
selaku umat Islam harus membiasakan diri melakukan segala syariatnya dengan
menyeluruh, termasuk dalam hal penamaan amalan ibadah kita, karena sekali lagi
penamaan pun akan memberikan dampak pada keadaan psikis, dengan menamakan
puasa, maka image dari ibadah shaum
di bulan ramadhan pun menjadi jelek, sebuah ajang penyiksaan diri yang tentunya
bagi anak-anak dan orang awam akan menjadi salah satu penyebab enggannya mereka
shaum di bulan mulia ini. Tetapi dengan menggunakan kata shaum, selain
menggunakan bahasa yang seharusnya, semangat dalam penunaiannya dan mengharap
ridha dari Allah menjadi bertambah. Ini menjadi tanggung jawab kita semua,
bukan hanya umat Islam secara khusus, media massa yang terlibat dengan
aktifitas shaum pun sama, mengingat peran dari media sendiri yang begitu besar,
karena kita harus berhati-hati menjaga kesucian ibadah shaum ramadhan kita,
karena balasan dari shaum Allah sendiri yang tahu dan menentukannya. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar