Ada satu kebiasaan menarik yang diajarkan oleh
para orangtua kepada anak-anak mereka di kota Madinah ketika memasuki bulan
puasa. Yaitu, mereka mengajarkan anak-anaknya untuk bersemangat dalam mengajak
orang lain, para jemaah Masjid Nabawi, untuk menikmati hidangan pembuka puasa
yang telah disiapkannya.
Anak-anak tersebut didorong untuk mencari orang
dan mempersilakan untuk mendatangi area dalam masjid yang telah mereka siapkan.
Tidak jarang dua anak dari keluarga berbeda menarik jamaah yang sama, dan
karena gaya menariknya yang lucu, sehingga tidak jarang sang jamaah tersebut
tersenyum atau tertawa kecil. Sekilas ini adalah fenomena biasa, namun
sesungguhnya ia memberikan efek yang sangat dalam. Bagi sang anak, mereka diajarkan
untuk bersemangat berbagi, bahkan kepada orang yang tidak dikenal.
Pembiasaan sejak dini ini diharapkan akan memberi
dampak positif pada psikologis anak, sehingga diharapkan anak tersebut tumbuh
menjadi orang yang dermawan. Kedermawanan itu lahir dari proses pembiasaan,
bukan muncul tiba-tiba. Karena itu, salah satu metode yang diajarkan Nabi SAW
dalam mendidik anak adalah melalui metode pembiasaan sejak dini. Seorang anak
balita yang sudah mampu membedakan mana tangan kanan dan tangan kiri, beliau perintahkan
untuk diajarkan shalat.
Inilah hal yang sangat penting dalam mendorong
gerakan zakat, infak dan shadaqah,
yaitu bagaimana mengubah “mindset” atau cara pandang seseorang tentang konsep
berbagi dan menanamkan cara pandang tersebut sejak dini. Para orangtua pun
diharapkan dapat membangun suasana lingkungan keluarga yang menyenangi zakat,
infak dan shadaqah. Untuk itu, rumus yang
harus ditanamkan kepada setiap keluarga, menurut pakar perencanaan keuangan
keluarga syariah FEM IPB Laily Dwi Arsyianti adalah CDIC. Ini adalah singkatan
dari charity, debt, investment dan consumption. Setiap kali kita menerima
pendapatan, maka formula CDIC ini yang harus terlintas di benak kita.
Pertama, charity. Ini bermakna setiap kali kita
menerima pendapatan, maka yang harus dilakukan adalah mengeluarkan terlebih
dahulu zakat atau infaknya minimal 2,5 persen. Sebelum berpikir mengenai hal
yang lain, maka segerakan donasi minimal ini. Semakin besar prosentasenya
semakin baik. Sehingga, ini diharapkan berkembang menjadi budaya atau gaya
hidup. Dalam konteks ini, kita biasakan untuk membayar zakat
melalui institusi amil resmi seperti BAZNAS. Adapun infak atau
shadaqah dapat diatur dan dikelola secara mandiri.
Momentum bulan puasa ini harus dijadikan sebagai
momen penguatan semangat berbagi ini. Misalnya, di setiap sekolah kadang suka
ada bazar atau pengumpulan pakaian bekas namun layak pakai untuk disumbangkan
kepada kaum miskin. Menurut penulis, pengumpulan barang bekas meski layak guna,
akan memberi persepsi kurang baik kepada anak. Seolah-olah berbagi itu harus
dengan yang bekas.
Demikian pula contoh yang selalu
didengung-dengungkan para pendidik, bahwa berinfak Rp 1000 ikhlas lebih baik
dari berinfak Rp 100 ribu tapi tidak ikhlas. Seharusnya logikanya dibalik.
Mengumpulkan pakaian baru, meski harganya murah, lebih baik dari mengumpulkan
pakaian bekas. Berinfak Rp 100 ribu ikhlas lebih baik dari Rp 1000 tidak
ikhlas.
Jika cara berpikir seperti itu senantiasa
ditanamkan dengan baik, maka budaya memberi akan tumbuh dan berkembang. Budaya
memberi ini akan melahirkan manusia-manusia yang produktif, sehingga secara
makro, perekonomian pun akan tumbuh dan berkembang. Ketika pola berpikir
“charity” telah menjadi kebiasaan, maka baru kemudian kita masuk pada pos
lainnya, yaitu memprioritaskan utang jatuh tempo (debt), serta sebisa mungkin
menabung dan investasi (investment). Sisanya baru digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
Wallahu a’lam.
Irfan Syauqi BeikStaf Ahli BAZNAS
SUMBER : http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/mengubah-mindset-berbagi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar