Senin, 07 Juli 2014

MENGUBAH MINDSET BERBAGI



Ada satu kebiasaan menarik yang diajarkan oleh para orangtua kepada anak-anak mereka di kota Madinah ketika memasuki bulan puasa. Yaitu, mereka mengajarkan anak-anaknya untuk bersemangat dalam mengajak orang lain, para jemaah Masjid Nabawi, untuk menikmati hidangan pembuka puasa yang telah disiapkannya.
Anak-anak tersebut didorong untuk mencari orang dan mempersilakan untuk mendatangi area dalam masjid yang telah mereka siapkan. Tidak jarang dua anak dari keluarga berbeda menarik jamaah yang sama, dan karena gaya menariknya yang lucu, sehingga tidak jarang sang jamaah tersebut tersenyum atau tertawa kecil. Sekilas ini adalah fenomena biasa, namun sesungguhnya ia memberikan efek yang sangat dalam. Bagi sang anak, mereka diajarkan untuk bersemangat berbagi, bahkan kepada orang yang tidak dikenal.
Pembiasaan sejak dini ini diharapkan akan memberi dampak positif pada psikologis anak, sehingga diharapkan anak tersebut tumbuh menjadi orang yang dermawan. Kedermawanan itu lahir dari proses pembiasaan, bukan muncul tiba-tiba. Karena itu, salah satu metode yang diajarkan Nabi SAW dalam mendidik anak adalah melalui metode pembiasaan sejak dini. Seorang anak balita yang sudah mampu membedakan mana tangan kanan dan tangan kiri, beliau perintahkan untuk diajarkan shalat.
Inilah hal yang sangat penting dalam mendorong gerakan zakat, infak dan shadaqah, yaitu bagaimana mengubah “mindset” atau cara pandang seseorang tentang konsep berbagi dan menanamkan cara pandang tersebut sejak dini. Para orangtua pun diharapkan dapat membangun suasana lingkungan keluarga yang menyenangi zakat, infak dan shadaqah. Untuk itu, rumus yang harus ditanamkan kepada setiap keluarga, menurut pakar perencanaan keuangan keluarga syariah FEM IPB Laily Dwi Arsyianti adalah CDIC. Ini adalah singkatan dari charity, debt, investment dan consumption. Setiap kali kita menerima pendapatan, maka formula CDIC ini yang harus terlintas di benak kita.
Pertama, charity. Ini bermakna setiap kali kita menerima pendapatan, maka yang harus dilakukan adalah mengeluarkan terlebih dahulu zakat atau infaknya minimal 2,5 persen. Sebelum berpikir mengenai hal yang lain, maka segerakan donasi minimal ini. Semakin besar prosentasenya semakin baik. Sehingga, ini diharapkan berkembang menjadi budaya atau gaya hidup. Dalam konteks ini, kita biasakan untuk membayar zakat melalui institusi amil resmi seperti BAZNAS. Adapun infak atau shadaqah dapat diatur dan dikelola secara mandiri.
Momentum bulan puasa ini harus dijadikan sebagai momen penguatan semangat berbagi ini. Misalnya, di setiap sekolah kadang suka ada bazar atau pengumpulan pakaian bekas namun layak pakai untuk disumbangkan kepada kaum miskin. Menurut penulis, pengumpulan barang bekas meski layak guna, akan memberi persepsi kurang baik kepada anak. Seolah-olah berbagi itu harus dengan yang bekas.
Demikian pula contoh yang selalu didengung-dengungkan para pendidik, bahwa berinfak Rp 1000 ikhlas lebih baik dari berinfak Rp 100 ribu tapi tidak ikhlas. Seharusnya logikanya dibalik. Mengumpulkan pakaian baru, meski harganya murah, lebih baik dari mengumpulkan pakaian bekas. Berinfak Rp 100 ribu ikhlas lebih baik dari Rp 1000 tidak ikhlas.
Jika cara berpikir seperti itu senantiasa ditanamkan dengan baik, maka budaya memberi akan tumbuh dan berkembang. Budaya memberi ini akan melahirkan manusia-manusia yang produktif, sehingga secara makro, perekonomian pun akan tumbuh dan berkembang. Ketika pola berpikir “charity” telah menjadi kebiasaan, maka baru kemudian kita masuk pada pos lainnya, yaitu memprioritaskan utang jatuh tempo (debt), serta sebisa mungkin menabung dan investasi (investment). Sisanya baru digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Wallahu a’lam.
Irfan Syauqi Beik
Staf Ahli BAZNAS

SUMBER : http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/mengubah-mindset-berbagi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar