Tidak bisa dipungkiri, makhluk yang namanya
manusia pasti pernah mengeluh. Disadari atau tidak, mengeluh seperti sudah
menjadi bagian dari hidup. Hanya saja, frekuensi dan kualitas keluhannya yang
membedakan antara satu personal dengan personal lainnya.
Biasanya perbedaan ini terkait dengan tingkat
pemahaman dan cara pandang seseorang tentang suatu masalah yang sedang ia
hadapi. Sabar, ikhlas dan seberapa besar keinginan untuk mengubah sebuah
keadaan menjadi lebih baik, biasanya akan meminimalisir keluhan.
Sebaliknya, sikap apriori, pesimis dan berburuk
sangka terhadap kejadian yang sedang menimpa secara otomatis akan memunculkan
keluhan-keluhan yang alih-alih mendapatkan penyelesaian, malah akan menambah
ruwet dan bisa jadi menambah masalah baru.
Mengeluh sejatinya perwujudan dari rasa tidak
puas, tidak ikhlas menerima sebuah ketentuan yang terjadi, baik dari segi
materi dan non materi. Ketika sakit berkeluh kesah, macet mengumpat, banjir
atau kekeringan mengkambing hitamkan orang lain. Atau ketika ditimpa musibah
menghardik Tuhan tidak adil, gaji kecil, belum punya rumah dan kendaraan
pribadi acap menyalahkan suami (bagi para istri) atau anak-anak nakal dan
bermasalah tidak jarang meyalahkan istri (bagi para suami).
Ya, sebagian contoh kecil tersebut adalah
manifestasi dari rasa tidak puas. Belum lagi kita saksikan fenomena di negeri
yang kita cintai ini. Berita di televisi mayoritas menyuguhkan tentang aksi
demo dan kekerasan, kerusuhan dimana-mana, tindak kriminal, penyalahgunaan
kekuasaan, korupsi-kolusi dan nepotisme dan banyak lagi yang kesemuanya
menunjukkan pada satu hal : ketidakpuasan! Sebuah potret masyarakat yang
diwarnai dengan berbagai keluhan.
Lalu, sebagai seorang yang mengaku muslim dan
punya tuntunan yang jelas tentu saja kita tidak akan membiarkan diri kita
terperosok lebih jauh ke dalam perbuatan yang sesungguhnya dibenci oleh Allah
Swt. Kenapa dibenci oleh Allah Swt.? Karena sesunggunya Allah Swt. menyukai
hamba yang senantiasa bersyukur dengan segala ketentuan dan bersabar ketika
ditimpa sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan.
Melihat fakta yang mayoritas bahwa manusia tidak
pernah lepas dari keluh kesah maka sangat penting bagi setiap muslim/muslimah
mempunyai manajemen yang tepat agar tidak terpeleset dalam keluh kesah yang
tidak diperbolehkan dan pandai menyikapi setiap kejadian yang dihadapi dengan
mengacu kepada teladan kita Rasulullah Saw.
Mengeluh Indikasi Tidak Bersyukur
Allah Swt. berfirman dalam QS An-nahl : 18,
artinya : “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat
menentukan jumlahnya.”
Ketika seseorang hanyut dalam keluhan, panca
inderanya pun tak mampu lagi memainkan perannya untuk melihat, mendengar,
mencium dan merasakan nikmat yang bertebaran diberikan oleh Allah Swt. tak
henti-hentinya. Hatinya serta merta buta dari mengingat dan bersyukur atas
nikmat Allah yang tiada terbatas. Itulah sifat manusia yang selalu mempunyai
keinginan yang tidak terbatas dan tidak pernah puas atas pemberian Allah kecuali
hamba-hamba yang bersyukur dan itu hanya sedikit.
Pada zaman Sayyidina Umar al-Khattab, ada seorang
pemuda yang sering berdoa di sisi Baitullah yang maksudnya: “Ya Allah!
Masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit.”
Doa beliau didengar oleh Sayyidina Umar ketika beliau (Umar) sedang melakukan tawaf di Ka’bah. Umar heran dengan permintaan pemuda tersebut. Selepas melakukan tawaf, Sayyidina Umar memanggil pemuda tersebut dan bertanya, “Mengapa engkau berdoa sedemikian rupa (Ya Allah! masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit), apakah tidak ada permohonan lain yang engkau mohonkan kepada Allah?”
Doa beliau didengar oleh Sayyidina Umar ketika beliau (Umar) sedang melakukan tawaf di Ka’bah. Umar heran dengan permintaan pemuda tersebut. Selepas melakukan tawaf, Sayyidina Umar memanggil pemuda tersebut dan bertanya, “Mengapa engkau berdoa sedemikian rupa (Ya Allah! masukkanlah aku dalam golongan yang sedikit), apakah tidak ada permohonan lain yang engkau mohonkan kepada Allah?”
Pemuda itu menjawab, “Ya Amirul Mukminin! Aku
membaca doa itu karena aku takut dengan penjelasan Allah dalam surah Al-A’raaf
ayat 10, yang artinya: ‘Sesungguhnya Kami (Allah) telah menempatkan kamu
sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber/jalan)
penghidupan. (Tetapi) amat sedikitlah kamu bersyukur’. Aku memohon agar
Allah memasukkan aku dalam golongan yang sedikit, (lantaran) terlalu sedikit
orang yang tahu bersyukur kepada Allah,” jelas pemuda tersebut.
Semoga kita menjadi hamba-hamba yang
dikategorikan sedikit oleh Allah dalam ayat tersebut. Dengan selalu menjaga
ikhlas dan sabar terhadap segala kejadian atau ketentuan yang diberikan oleh Allah.
Dan berprasangka positif bahwa apa yang telah terjadi adalah yang terbaik
menurut Allah, sehingga hanya rasa syukur saja yang terlintas di benak, terucap
di bibir dan terlihat dari tindakan karena sesungguhnya jika kita bersyukur
maka Allah akan menambah nikmat-Nya dan jika kita ingkar, sesunggunya azab
Allah sangat pedih (QS Ibrahim:7).
Mengeluh Hanya Pada Allah Swt
Ketika sebuah kejadian yang tidak diinginkan
menimpa seseorang, katakanlah ditimpa sebuah masalah yang berdampak menitikkan
air mata, menyakitkan hati, membuat kepala berdenyut-denyut dan menjadikan
seseorang itu merasa diberi ujian yang sangat berat dan tidak sanggup
mengatasinya sendiri, sebuah tindakan manusiawi jika ia membutuhkan orang lain
dalam penyelesaian masalahnya. Lalu, benarkah tindakannya jika ia mengeluhkan
masalahnya kepada orang lain?
Rasulullah Saw. pernah mengalami sebuah kondisi
yang jauh dari yang beliau inginkan. Para kaum musyrikin mengabaikan seruannya
dan juga mencampakkan Al-Quran. Mereka telah mengacuhkan Al-Quran dalam
beberapa bentuk diantaranya: mereka tidak mau mengimani Al-Quran, mereka tidak
mau mendengarkan Al-Quran, bahkan mereka menolaknya dan mengatakan bahwa
Al-Quran adalah ucapan dan bualan Muhammad si tukang syair dan sihir . Kaum
musyrikin juga berusaha untuk mencegah orang-orang yang berusaha mendengarkan
Al-Quran dan dakwah Rasulullah Saw.
Dalam kondisi tertekan tersebut Rasulullah Saw.
mengeluh dan mengaduh hanya kepada Allah Swt. seperti yang terkandung dalam QS
Al-Furqon : 30, yang artinya : “Dan berkatalah Rasul: Ya Tuhanku! Kaumku
ini sesungguhnya telah meninggalkan jauh al-Quran”.
Begitu pula dengan Nabi Ya’qub dan Nabi ayub, sebagaimana firman Allah dimana Nabi Ya’qup berkata, yang artinya: “Sesungguhnya aku mengeluhkan keadaanku dan kesedihanku hanya kepada Allah,“ (QS. Yusuf : 86).
Begitu pula dengan Nabi Ya’qub dan Nabi ayub, sebagaimana firman Allah dimana Nabi Ya’qup berkata, yang artinya: “Sesungguhnya aku mengeluhkan keadaanku dan kesedihanku hanya kepada Allah,“ (QS. Yusuf : 86).
Dan Nabi Ayyub a.s. , yang disebutkan Allah dalam
firman-Nya, bahwa Ayyub berkata, yang artinya : “Sesungguhnya aku telah
ditimpa penyakit dan Engkau (Allah) adalah Yang Maha Penyayang diantara semua
penyayang,”(QS Al-Anbiyaa’: 83).
Sebaiknya, mengeluhlah hanya kepada Allah Swt.,
karena sesungguhnya semua kejadian sudah menjadi sebuah ketentuan-Nya dan hanya
Dia-lah sebaik-baik pemberi solusi. Tetapi dalam kondisi-kondisi dimana
seseorang mengeluh (sharing) tentang masalahnya kepada orang yang ia yakini
amanah dan dengan catatan untuk mendapatkan penyelesaian, maka dalam hal ini
sebagian ulama memperbolehkan.
Sebagaimana Ibnu Qayyim , dalam ‘Uddatu Ash
Shabirin, menyatakan bahwa adapun menceritakan kepada orang lain tentang
perihal keadaan, dengan maksud meminta bantuan petunjuknya atau pertolongan
agar kesulitannya hilang, maka itu tidak merusak sikap sabar ; seperti orang
sakit yang memberitahukannya kepada dokter tentang keluhannya, orang teraniaya
yang bercerita kepada orang yang diharapkannya dapat membelanya, dan orang yang
tertimpa musibah yang menceritakan musibahnya kepada orang yang diharapkannya
dapat membantunya.
Membiasakan Diri dengan Mengeluh Positif
Mengeluh positif ? Spontan pasti muncul
pertanyaan ketika membaca subjudul tersebut. Iya, ternyata mengeluh tidak
selalu berkonotasi negatif. Tidak sabar menghadapi ujian, kurang ikhlas
menerima ketentuan dan hasad/iri pada orang lain acap kali membuat diri menjadi
tidak berdaya sehingga mengeluarkan kata-kata yang bermakna tidak puas yang
merupakan perwujudan dari mengeluh. Tetapi, jika seseorang hasad/iri terhadap
kebaikan dan amal saleh orang lain yang membuat dirinya termotivasi untuk
berbuat hal yang sama bahkan lebih tanpa mengurangi/menghilangkan kebaikan
orang lain tersebut maka hasad model ini dikategorikan sebagian ulama sebagai
hasad yang positif.
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Para ulama
membagi hasad menjadi dua macam, yaitu hasad hakiki dan hasad majazi. Hasad
hakiki adalah seseorang berharap nikmat orang lain hilang. Hasad seperti ini
diharamkan berdasarkan kata sepakat para ulama (baca: ijma’) dan adanya dalil
tegas yang menjelaskan hal ini. Adapun hasad majazi, yang dimaksudkan adalah
ghibthoh. Ghibthoh adalah berangan-angan agar mendapatkan nikmat seperti yang
ada pada orang lain tanpa mengharapkan nikmat tersebut hilang. Jika ghibthoh
ini dalam hal dunia, maka itu dibolehkan. Jika ghibthoh ini dalam hal ketaatan,
maka itu dianjurkan.
Jadi, marilah kita sama-sama membekali diri
dengan ketaatan hanya kepada Allah Swt. dengan cara senantiasa mendekatkan diri
pada-Nya. Tidak pernah puas untuk mengkaji ilmu-ilmu-Nya agar dalam setiap
desahan napas selalu mengaitkan dengan hukum-hukum-Nya. Jika ada niat dan tekad
dengan sungguh-sungguh, insya Allah ikhlas dan sabar akan menjadi perhiasan
yang akan mewarnai akhlak kita sehari-hari dan kita dihindarkan dari lisan dan
sikap yang sering berkeluh kesah. Cukuplah mengeluh positif dalam genggaman,
yaitu mengeluh dalam rangka bermuhasabah dan berlomba-lomba dalam kebaikan
sehingga dapat meraih derajat taqwa yang sesungguhnya. Wallahu’alam.
Sumber : http://www.eramuslim.com/akhwat/muslimah/nani-agus-kholifatul-manajemen-mengeluh.htm#.VILnEXbESMg